KEARIFAN LOKAL DALAM BUDIDAYA JERUK DI LAHAN RAWA
Hidayat Dj. Noor, Izzuddin Noor, S.S.Antarlina,
Yanti Rina dan Noorginayuwati,
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Hidayat Dj. Noor, Izzuddin Noor, S.S.Antarlina,
Yanti Rina dan Noorginayuwati,
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
PENDAHULUAN
Lahan rawa sudah di buka/direklamasi sejak ratusan tahun yang lalu oleh suku Banjar dan makin tahun ketahun makin meluas. Pembukaan/ reklamasi secara luas dilakukan oleh pemerintah memalui P4S, yang difokuskan untuk daerah pertanian dan pemukiman transmigrasi mulai pada tahun 1969 (Panoedinardi, 1976). Awalnya lahan rawa di buka sebagai
persawahan untuk pertanaman padi, namun pada perkembangan selanjutnya areal persawahan lahan rawa tersebut kemudian berkembang dengan penanaman tanaman lainnya baik secara tumpang sari maupun campuran melalui pola tanam sistem surjan, baik dengan tanaman palawija, sayuran, tanaman perkebunan maupun tanaman buah-buahan. Di beberapa lokasi areal lahan rawa ada yang berubah dari areal persawahan padi menjadi areal khusus perkebunan kelapa, rambutan, jeruk dan tanaman campuran.
Budidaya jeruk di lahan rawa, khususnya lahan rawa pasang surut sudah lama di kenal masyarakat setempat, terutama di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Melalui pembuatan tembokan (guludan) atau tokongan (gundukan) di sawah serta perlakuan teknik budidaya local petani, jeruk dapat ditanam di persawahan lahan rawa dan dapat tumbuh dan berkembang serta menghasilkan buah dengan baik, disamping itu masa produktifnya lebih dari 30 dan bahkan ada yang bisa sampai lebih dari 50 tahun. Kualitas buahnya sangat baik dengan rasa manis yang khas dan cukup berair. Sejak awal pengembangannya, banyak ditanam adalah jenis jeruk yang petani menyebutnya jeruk kaprok. Namun menurut para ahli jeruk tersebut adalah jeruk siam (Idak 1971). Pada awalnya orang kurang menyukai jeruk kaprok karena aroma kulitnya, namun karena rasanya yang manis dan enak, jeruk kaprok berkembang menjadi tanaman yang penting (Idak, 1948). Selain jeruk kaprok, sejak awal petani juga menanam jerukjeruk manis, bali, antalagi, sassangan, nipis, citrun, kuit, purut dan wangkang
(Donicie dan Idak 1941).
persawahan untuk pertanaman padi, namun pada perkembangan selanjutnya areal persawahan lahan rawa tersebut kemudian berkembang dengan penanaman tanaman lainnya baik secara tumpang sari maupun campuran melalui pola tanam sistem surjan, baik dengan tanaman palawija, sayuran, tanaman perkebunan maupun tanaman buah-buahan. Di beberapa lokasi areal lahan rawa ada yang berubah dari areal persawahan padi menjadi areal khusus perkebunan kelapa, rambutan, jeruk dan tanaman campuran.
Budidaya jeruk di lahan rawa, khususnya lahan rawa pasang surut sudah lama di kenal masyarakat setempat, terutama di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Melalui pembuatan tembokan (guludan) atau tokongan (gundukan) di sawah serta perlakuan teknik budidaya local petani, jeruk dapat ditanam di persawahan lahan rawa dan dapat tumbuh dan berkembang serta menghasilkan buah dengan baik, disamping itu masa produktifnya lebih dari 30 dan bahkan ada yang bisa sampai lebih dari 50 tahun. Kualitas buahnya sangat baik dengan rasa manis yang khas dan cukup berair. Sejak awal pengembangannya, banyak ditanam adalah jenis jeruk yang petani menyebutnya jeruk kaprok. Namun menurut para ahli jeruk tersebut adalah jeruk siam (Idak 1971). Pada awalnya orang kurang menyukai jeruk kaprok karena aroma kulitnya, namun karena rasanya yang manis dan enak, jeruk kaprok berkembang menjadi tanaman yang penting (Idak, 1948). Selain jeruk kaprok, sejak awal petani juga menanam jerukjeruk manis, bali, antalagi, sassangan, nipis, citrun, kuit, purut dan wangkang
(Donicie dan Idak 1941).
READ MORE